
761 by bluemallows
Main Cast: J.Y. Park, JJ Project’s Park Jinyoung, 15&’s Park Jimin || Support Cast: 15&’s Baek Yerin, San E, Wonder Girls’ Min Sunye, and others. || Genre: Romance, School Life ||Rating: PG-13 || Length: Chaptered || Disclaimer: Inspired by my friend’s experience, “Beethoven Virus (2008)”, and Winna Efendi’s Refrain || Credit Poster: Art Factory
***
Tempat ini adalah awal mula cerita ini dimulai, di dalam sekolah menengah atas yang menyimpan beribu cerita dari setiap siswa yang pernah menuntut ilmu di dalam tempat ini. Kelas berjejer-jejer dengan rapi di lantai atas dan bawah, sama-sama menyimapan kenangan tersendiri. Tiap sudut sekolah pasti memiliki kisah tersendiri, dari depan pagar yang biasanya ditutup setelah jam tujuh, lapangan basket yang selalu ramai dengan siswa jangkung, lapangan upacara tempat kepala sekolah berceramah setiap hari Senin, kantin yang selalu ramai saat jam istirahat, hingga kisah-kisah hantu di kamar mandi.
Cobalah, tengok di kelas 10.2. Kelas yang sudah dicap sebagai kelas tahun pertama yang paling ramai di antara sembilan kelas lainnya. Semua jenis murid ada di dalam kelas itu, mulai dari yang paling pendiam hingga yang hiper aktif.
“Park Jinyoung, cepat maju dan kerjakan soal nomor lima.”
Dia Park Jinyoung, siswa yang sedikit usil dan sering membuat masalah-masalah kecil di dalam kelas. Satu dari sekian siswa yang selalu stuck di depan kelas saat diperintah untuk presentasi atau mengerjakan soal. Jung seonsaengnim mulai geleng-geleng kepala. “Yerin-ssi, bantu Jinyoung mengerjakan soal nomor lima.”
Yerin segera bangkit dari tempat ia duduk di baris paling depan dan meraih spidol warna hitam yang ada dalam genggaman tangan Jinyoung. Dalam hitungan detik, gadis itu telah menyelesaikan soal fisika yang nyaris meledakkan kepala setiap siswa. “Sempurna! Aku tidak pernah menyesal memilihmu sebagai ketua kelas, Yerin-ssi.” Puji Jung seonsaengnim sambil tersenyum lebar ke arah Yerin yang segera kembali ke tempat duduknya dengan senyum malu-malu seperti biasanya. Jinyoung berpura-pura tidak tahu dan segera melenggang menuju kursi belakang tempat ia duduk. “Park Jinyoung! Kau berdiri di luar!”
Raut wajah guru fisika dengan nama Jung San itu kembali seperti semula, terlihat galak tetapi masih menyiratkan raut wajah jenaka. “Soal nomor enam, Park Jimin. Ayo, maju ke depan.”
Yang dipanggil pun maju dengan gemetaran. Ia tahu benar ia tidak dapat mengerjakan soal mengerikan yang sudah ditulis di atas papan tulis. Tetapi seperti biasa, ia tetap berusaha tersenyum ke arah teman-teman yang mengamatinya. Diraihnya spidol warna biru dan dibuka tutupnya, ia memandang soal dan diam saja untuk beberapa detik. Dialihkannya pandangan matanya ke arah Jung seonsaengnim yang duduk di atas kursi beroda sambil melipat tangannya di atas dada. Jimin memperlihatkan deretan giginya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ck! Cepat keluar!” Perintahnya sinis. “Seharusnya jika tidak bisa mengerjakan soal itu malu, bukannya tersenyum-senyum seperti itu!”
Gadis itu berpura-pura tuli sejenak dan berjalan sambil sesekali berjingkat menuju pintu keluar-masuk kelas. Jung seonsanengnim hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah muridnya yang.. sedikit hiperaktif? Guru itu berdahem dan melanjutkan menjelaskan soal nomor enam, sebelum akhirnya berhenti karena suara Jimin memecah keheningan kelas.
“Jinyoung-ah! Tadi Jung seonsaengnim menyuruhmu berdiri! Bukan duduk di lantai seperti itu!”
Jinyoung menepuk keningnya sendiri. “Jimin! Pintu masih terbuka lebar dan Jung seonsaengnim pasti mendengarmu! Bodoh!”
Perkataan Jinyoung benar-benar terbukti, Jung seonsaengnim menampakan setengah tubuhnya dari pintu masuk kelas 10.2, mendapati Jinyoung sedang duduk bersila di dekat pintu. Tatapan tajam dari Jung seonsaengnim mengarah padanya. “Park Jinyoung! Berdiri sampai pelajaranku selesai!” Ia kembali masukkan setengah tubuhnya yang kelihatan dan membanting pintu.
Hembusan nafas lega keluar dari hidung Jinyoung yang segera menyenderkan tubuhnya pada tembok, perlahan menurunkan tubuhnya dan duduk bersila seperti posisi semula. Dan akhirnya Jimin mengikuti tingkah Jinyoung, duduk bersila di depan kelas.
“Nah! Kau juga duduk, kan?” Pekik Jinyoung, sambil tetap berbisik.
Jimin terlihat sangat manis ketika ia tersenyum usil. “Berdiri terlalu lama itu membuatku lelah ternyata.”
Pemuda di samping Jimin hanya mendengus kesal dengan perilaku teman yang duduk di sebelahnya tadi. Terlalu polos dan.. sedikit menyebalkan. “Hari ini hari apa?”
“Hari Rabu, kenapa?”
Jinyoung mendesah lemas melihat ekspresi wajah Jimin yang tidak menunjukkan bahwa ia tahu ada apa pada hari Rabu. Ia melemparkan pernyataan you-know-what pada gadis itu. Tiba-tiba gadis itu tersadar, “Ya Tuhan! Hari ini 167 akan masuk ke kelas kita,” Ia menepuk-nepuk puncak kepalanya sendiri. “Dan aku belum mengerjakan tugas darinya!”
Tangan Jinyoung berada di samping wajah Jimin, mengajak Jimin melakukan Hi-5 dengan dirinya. Jimin menabrakkan telapak tangan kanannya dengan lemas kepada milik Jinyoung. “Bagaimana ini?” Tanyanya panik.
“Yerin pasti mau meminjamkan tugasnya pada ktia, tenang saja.” Jawab Jinyoung sambil tertawa kecil.
***
Mari kita kembali ke dalam kelas 10.2 dengan Jung seonsaengnim yang masih duduk di kursi beroda sambil memutar-mutar kecil ke kiri dan ke kanan berulang kali. Ia menatap daftar siswa kelas 10.2, untuk memanggilnya satu per satu mengerjakan soal di depan kelas. Kebiasaan yang dilakukannya seminggu sebelum ulangan—kata murid kelas sebelas dan dua belas.
“Im Jaebum, kerjakan soal nomor delapan.”
Laki-laki yang dipanggil itu melirik ke arah sekeliling dengan tatapan malas dan dilanjutkan dengan berjalan ke depan kelas sama malasnya. Ia mengamati soal nomor delapan dengan dahi berkerut—hanya berpura-pura berpikir. “Ayo, cepat kerjakan. Spidolmu tidak akan bergerak sendiri.”
Im Jaebum, sang jagoan kelas—jagoan lapangan hingga jagoan saat bertengkar—memalingkan kepalanya dan melirik ke arah teman-temannya dan memancarkan pandangan save my soul. Jinwoon hanya menggeser-geserkan jemarinya di atas meja kayu, ia benar-benar tidak tahu jawban soal itu.. Jaebum berganti memicingkan mata ke arah Yerin, ia yakin seratus persen gadis itu tahu jawaban untuk soal nomor delapan. Dengan jelas-jelas dan sengaja, Yerin menghindari pandangan mata Jaebum dengan mengalihkan sorot matanya ke luar jendela dengan kaca yang sudah berdebu.
Jemari Jaebum setengah meremas spidol warna hitam di tangan kanannya. Bibirnya berkerut sambil sesekali memandang Jung seonsaengnim yang menopang keningnya dengan tangannya di meja. Mungkin sudah terlalu frustasi melihat murid-muridnya. “Im Jaebum, bergabung dengan yang lain di luar!”
“Baek Ayeon! Gantikan Jaebum dan kerjakan nomor delapan.”
Gadis yang dipanggil itu tersenyum licik sambil menggengam sobekan kertas berisi jawaban soal nomor delapan dari teman satu geng-nya, Bae Suzy. Sambil sesekali melirik ke arah kertas kecil di genggaman tangannya, ia menuliskan jawaban nomor delapan dengan rapi di atas papan tulis. “Permisi Jung seonsaengnim, Ayeon membawa contekan ditangannya.” Ucap Sunmi, gadis pendiam yang senang sekali mengadu pada guru.
Jung seonsaengnim bangkit dari tempat duduknya dan membuka genggaman tangan kiri Ahyeon dengan paksa. “Keluar.” Ahyeon berdecak kesal dan melayangkan pandangan penuh amarah yang membara pada Sunmi.
“Saya tidak mau tahu lagi, yang penting minggu depan kalian harus ulangan! Kelas lainnya saja sudah ulangan sejak minggu lalu dan hasilnya juga.. tidak terlalu buruk, kok.”
***
Derap kaki pelan dari sepatu jinjit milik seorang guru terdengar dari kejauhan. Jinwoon mengintip lewat jendela yang ditutup gorden warna merah muda dengan corak bunga yang tersamarkan oleh warna oranye itu. “Min seonsaengnim! Dia datang!”
Gerombolan siswi yang duduk di pojok kelas segera bubar dan duduk kembali ke posisi semula, Yerin segera memasukkan novel fiksinya ke dalam laci meja, Jaebum memperbaiki posisi duduknya seperti semula, Jimin dan Jinyoung berhenti mengobrol, dan Sunmi tetap diam di tempat duduknya dengan tenang.
Suara handel pintu yang diputar membuat suasana semakin menegang, Min Sunye memunculkan kepalanya dari pintu disusul badan dan kakinya. Suasana kelas seketika menjadi suram karena wajah Min seonsaengnim yang tak kalah suramnya. Pandangan mata Min seonsaengnim selalu seperti orang yang marah besar jika masuk ke dalam kelas 10.2. “Coba kalian bersikap seperti manusia, bukan seperti tikus. Tikus adalah hewan yang akan berkeliaran saat tidak ada manusia, dan bersembunyi ketika manusia-manusia muncul. Persis seperti kalian.”
“Kumpulkan tugas kalian mulai dari Jung Jinwoon ke belakang.”
Giliran Jimin dan Jinyoung masih jauh memang, tapi mereka sudah melempar pandang dan tersenyum puas karena mendapat contekan jawaban soal bahasa Inggris yang menggunakangrammar aneh-aneh dari Yerin setelah Jung seonsaengnim keluar dari kelas.
“Baek Ayeon! Kau belum pernah mengumpulkan tugas bahasa Inggris sama sekali!” Ujar Minseonsaengnim sambil memukul meja guru cukup keras. “Kerjamu hanya menggosip bersama teman-temanmu setiap hari, kan? Jangan pernah kamu anggap saya ini sepele!”
Jinyoung berdecak dan memalingkan pandangan wajahnya dari Min seonsaengnim yang melotot ke arah Ahyeon. “Mulai lagi 167 sialan itu. Isinya seolah memuji dirinya sendiri, ck.”
“Di kelas lain, Min seonsaengnim tidak segalak ini katanya. Bahkan Junho sunbae bisa mengatakan 167 ini baik sekali.”
Tanpa disadari, arah pandang mata sang 167—Min seonsaengnim—telah mengadah ke arah Jinyoung dan Jimin. “Sebaiknya kalian harus menghargai guru yang sedang berbicara, Park Jimin dan Park Jinyoung. Jika kalian tidak menghargai orang lain, kalian tidak akan pernah dihargai orang lain!”
“Ne, Min seonsaengnim.” Ucap mereka berdua kompak, tanpa ada aba-aba yang memulai.
Dan, seisi kelas dipenuhi oleh kata demi kata yang dilontarkan oleh Min seonsaengnim. Omelan-omelan khas ibu-ibu keluar dari mulutnya setiap kali jam pelajaran bahasa Inggris dimulai. Tak jarang ia mengomentari tiap detail dari muridnya, dari cara berpakaian hingga tingkah laku di luar jam pelajaran sekolah. Kata-katanya yang pedas juga sangat mendukung. Tidak usah khawatir cukup masuk dari telinga kiri, dan keluar lewat telinga kanan.
***
“167 sialan, aku disebut-sebut saja dari tadi.”
Jinyoung meletakkan sumpit di atas mangkuknya. “Wow, Yerin wow. Kau bisa mengatakan ‘dia’ itu sialan? Wow!”
Yerin mengehela nafas dan melanjutkan memakan jatah makan siang dengan nafsu makan yang berkurang. “Sudahlah, Jinyoung. Kau tahu aku seperti apa. Aku bisa membenci seseorang juga, tahu.”
“Tapi kau kan dipuji-puji. Kita? Seisi kelas—kecuali kau? Di bully dengan perkataannya!” Ucap Jimin sambil menyeduh teh hangat dari gelasnya.
Untuk beberapa detik, Yerin tidak dapat balas menyerang, ia harus menelan makanannya dulu. “Kau tahu? Jika aku dipuji-puji yang berlebihan seperti itu, nanti jika aku berbuat salah sedikit saja, orang lain akan menganggapku tidak baik, munafik, dan lainnya—yang kupikir tidak perlu diteruskan.”
Jimin mengangkat sumpitnya dan menyapit daging ayam yang ada di atas mangkuk Jinyoung dan segera memakannya. “Aku minta sedikit.” Tangan Yerin juga otomatis bergerak menuju mangkuk Jinyoung dan mengambil potongan daging ayam yang berwarna kecokelatan. “Aku juga minta.”
Pemuda satu-satunya di atas meja makan kantin itu hanya mendesah sambil melanjutkan melahapramyun yang tersisa di dalam mangkuk tanpa ditemani sepotong daging yang baru saja dirampas oleh Yerin dan Jimin.
“Besok belajar di rumah Jinyoung. Kalian mau? Minggu depan ulangan fisika, kan?”
Jinyoung yang belum selesai mengunyah ramyun di mulutnya menunjuk-nunjuk Jimin dengan sumpit ditangan kanannya. “Tiwdawk! Jawngan Diw ruwmahkuw!”
Dahi Yerin yang tidak tertutup poni terlihat berkerut. “Apa? Kau bilang apa barusan?”
“Jangan di rumahku! Jangan!” Ucap Jinyoung memohon.
“Wae? Bukankah kau tinggal di tempat kos milik ibumu yang baru? Belum ada yang meninggali selain kau, kan?”
“Ayolah Jinyoung-ah, kami belum pernah pergi ke rumah barumu kan?”
Jinyoung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. “Tidak! Ada banyak anak laki-laki lainnya! Banyak!” Ia melirik ke arah kanan beberapa saat. “Dan mereka rata-rata anak yang nakal!”
Yerin mengangguk-angguk mengerti. “Oke, oke. Di rumahku saja, pintu selalu terbuka untuk kalian.” Ia pun terkikik pelan diiringi senyuman dari kedua sahabatnya.
***
Masih seperti kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Ketika tidak ada guru yang mengajar, semua siswa pasti berpencar bersama teman-temannya sendiri-sendiri. Ahyeon dan teman-temannya sibuk menggosip tentang senior-senior, Jaebum sedang mengatur strategi tim basketnya bersama Jinwoon, dan Yerin sedang belajar untuk ulangan fisika sebentar lagi.
“Mana contekanmu?”
“Kau beruntung Jinwoon, bisa mencontek Yerin dengan mudah.”
“Jangan lupa beritahu aku jawabannya, okay?”
“Semoga soal-soalnya nanti tidak sulit!”
“Kenapa tidak berdoa agar Jung seonsaengnim tidak masuk saja?”
Dalam sekali hentakan, pintu kayu yang dilapisi pelitur warna cokelat mengkilap itu terbuka dengan keras. Membuat ‘tikus-tikus’ berlari berhamburan ke sarang mereka masing-masing. Tidak ada yang masuk, hanya pintu yang dibiarkan terbuka beberapa waktu. Seorang pria dengan badan yang lebih tinggi dari Jung seonsaengnim memasuki ruang kelas 10.2. Pria berwajah asing itu segera duduk di atas kursi guru, dan mengamati seisi kelas 10.2.
“Jinyoung-ah, siapa dia?”
Jinyoung mencondongkan tubuhnya ke dekat meja Jimin. “Park seonsaengnim, guru fisika. Kau tidak tahu?”
“Itu Park seonsaengnim? Guru yang kata senior-senior kita itu menyebalkan?” Sahut Suzy dari depan Jinyoung. Pemuda itu menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban untuk Suzy. Gadis itu lanjut membisikkan identitas guru itu ke teman-teman di sebelahnya yang menyebabkan sedikit kegaduhan.
Pandangan-pandangan sebal dan malas mendarat kepada guru dengan name tag bertuliskan Park Jinyoung. Akan tetapi guru itu masih tetap saja membaca daftar absen siswa kelas 10.2, tetap dengan dahi berkerut yang permanen. “Sekarang jam pelajaran fisika, kan?” Tidak ada jawaban, hanya ada mata yang saling bertukar pandang antar murid di dalam kelas.
“Sekarang jam pelajaran fisika, kan?” Ulang Park seonsaengnim.
Yerin menarik nafas dan menghembuskannya sebelum tangannya teracung tinggi. “Maaf, Parkseonsaengnim. Tapi-” Bagai hanya tiupan angin kecil, Park seonsaengnim memotong pembicaraan sang ketua kelas. “Okay! Kita mulai pelajaran fisika kita hari ini.” Dengan segera ia bangkit berdiri dan meraih spidol warna hitam yang tersedia di atas meja guru.
Perlahan ia membuka tutup spidol itu dan menggoreskannya di atas papan tulis. Hanya ada segaris tipis warna hitam yang timbul di atas papan tulis warna putih itu. Tintanya habis. Ia mengambil spidol satunya, spidol terakhir yang tersisa. Ketika ditorehkan di atas papan tulis, justru tidak ada warna apapun yang keluar. “Mana persediaan spidol lainnya? Untuk keadaan seperti ini.”
Tidak ada satu pun jawaban yang keluar dari dua puluh tujuh mulut.
“Bendahara? Mana bendahara kelas ini?”
Suzy mengangkat tangannya sambil memandang ke atas meja. Menghindari kontak mata dengan Park seonsaengnim. Guru itu menghela nafas. “Kenapa tidak beli spidol yang baru? Di setiap kelas minimal harus ada empat, dan satu untuk cadangan. Mengerti?”
Dan lagi-lagi, tidak ada sahutan.
“Piket hari Rabu, cepat isi spidol!” Dua siswa putri segera berdiri dan meraih dua spidol, dan lari keluar dari kelas.
Suara serak Park seonsaengnim terus mengisi setiap sudut keheningan dan kejenuhan di dalam kelas 10.2 hingga dua jam pelajaran berlangsung. Membuat setiap siswa ingin jatuh tertidur, atau menghilang sampai guru itu juga menghilang dari kelasnya. Bibirnya terus bergerak tanpa henti hingga jam pelajaran keenam berbunyi.
Pintu kelas 10.2 dibuka dengan keras dari luar, Jung seonasengnim segera masuk ke dalam kelas dan tidak menghiraukan Park seonsaengnim yang sedang menulis rumus fisika di atas papan tulis. “Jinyoung-ssi, saya guru fisika untuk kelas 10.1 sampai 10.5, dan kelas ini adalah bagian saya.” Wajah geram nampak jelas dari wajah Jung seonsaengnim yang berkerut dan memerah.
Tidak ada respon dari Park seonsaengnim, ia memandang rekan sesama guru dihadapannya seperti orang linglung. “Ah! Saya salah masuk kelas? Maafkan saya San-ssi. Seharusnya saya mengajar di kelas 10.7” Ia membungkukkan badannya dan segera mengambil buku-bukunya yang bertebaran di atas meja.
“Anda sudah mengambil tiga jam pelajaran fisika minggu ini yang seharusnya digunakan untuk ulangan.” Jung seonsaengnim ikut melangkah keluar kelas menuju kantor guru sambil berdecak kesal. Tidak ada gunanya ia kembali masuk ke dalam kelas, toh jam pelajarannya juga sudah habis.
***
“Hari ini tidak jadi ulangan fisika!” Jimin memekik cukup keras dari meja kantin di pojok tempat ia duduk bersama Yerin. Gadis di hadapannya meneguk segelas teh miliknya sambil pura-pura tidak mengenali Jimin ketika banyak orang melihat sahabatnya itu berteriak-teriak.
Melihat gestur Yerin yang meletakkan tangannya menutupi matanya sambil menggeleng-geleng pelan, Jimin tersadar dan tersenyum polos pada sahabatnya itu. “Mana Jinyoung? Tumben sekali tidak muncul.” Bahu Yerin terangkat beberapa detik, kemudian menurunkannya. “Entahlah. Mungkin dia pergi ke perpustakaan untuk bermain catur?”
“Ehm, guru fisika tadi siapa namanya?”
“Park seonsaengnim? Namanya Park Jinyoung. Kenapa?” Sahut Yerin sambil melahap bibimbap di dalam mangkuk hitam hadapannya yang hampir habis. Tangannya sesekali menggerak-gerakkan sumpit yang ada di tangan kanannya sambil menatap tembok warna oranye persis di hadapannya. Tangannya meraih gelas kecil berisi teh panas manis yang dipesannya tadi dan meniupnya. “Apa kesan pertamamu saat melihatnya?”
“Hmm.. Jelek, sok tahu, tua, dan menyebalkan. Kau sendiri?”
Terbentuk senyuman samar di antara kedua pipi tambun Jimin. “Guru yang mengesankan, bukan?”
Yerin memandangi wajah Jimin dengan mulut yang penuh dengan teh. Kesulitan untuk meneguknya sekaligus, dan terlalu memalukan untuk mengeluarkannya lagi di kantin. Ia berusaha mengatur nafasnya agar tidak tersedak, lalu membiarkan tenggorokannya digelontor oleh teh itu. Selang beberapa detik, tawanya seketika meledak.
Mungkin ini kali pertama siswa melihat sang ketua kelas, ranking satu pararel, pendiam yang jenius, tertawa terbahak hingga nyaris jatuh dari kursi tempat ia duduk serta hampir kehabisan nafas karena tertawa terlalu keras. “Kau gila, Jimin! Dia itu tua dan jelek!”
***
Park seonsaengnim, ia sedang duduk di balik bilik meja guru miliknya di dalam kantor. Di sampingnya, murid dengan nama yang sama dengannya berdiri di sampingnya. Tangan Jinyoung saling meremas dengan tangannya yang satu lagi.
To be continued…
0 comments:
Post a Comment